Saat ini kita sedang memasuki tahun politik.
Suksesi kepemimpinan nasional maupun lokal digelar melalui mekanisme politik
lewat pemilu. Berharap pemilu yang demokratis adalah harapan kolektif semua
elemen bangsa. Sehingga kelak lahir pemimpin politik yang menjadi cahaya bagi
rakyatnya.
Agar pemilu tidak sekadar ajang ritual
musiman, berbiaya tinggi, maka proyeksi Pemilu yang aman, damai, dan
demokratis, perlu menjadi atensi bersama semua pihak. Karena itu, peran
pemerintah perlu dioptimalkan. Lebih daripada itu, keterlibatan masyarakat
sipil (civil society) dalam mengawal Pemilu juga tak bisa diabaikan.
Lalu apa peran masyarakat sipil?
Cendekiawan
Muslim Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa civil society adalah
“rumah” persemaian demokrasi. Jadi demokrasi tidak hanya tercermin dalam pemilu
yang bebas dan demokratis, tetapi juga diperlukan persemaian dalam “rumah”,
yaitu civil society (Masyarakat
sipil). Karena itulah, masyarakat
sipil sebagai mitra negara
dalam proses transformasi politik hendaknya menekan tombol akar rumput
agar mereka berpartisipasi dalam roda
pembangunan dan konsolidasi
demokrasi.
Ada
banyak hal bisa dilakukan oleh elemen masyarakat sipil. Kategorisasi masyarakat sipil tercermin dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Ormas, asosiasi profesi, komunitas budayawan, forum keagamaan, jaringan buruh,
dan sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut bergerak atas acuan prinsipil, kehendak dan cita serta
tujuan bersama. Keberadaan masyarakat sipil seperti
itu akan menjadi jembatan antara negara dengan masyarakat. Sehingga negara
tidak terlampau hegemonic, begitu pun masyarakat tidak kelewat liar. Semuanya
bergulat dengan simfoni yang indah.
Dalam
konteks pesta demokrasi, masyarakat Indonesia di berbagai wilayah baru saja
melewati hajatan pilkada serentak. Secara umum, penyelenggaraan pilkada
serentak berjalan aman, kendati ada riak-riak kecil, namun tidak sampai
merongrong sel-sel tubuh bangsa. Saat ini, konser demokrasi berpindah ke
pemilihan wakil-wakil rakyat hingga pemilihan orang nomor satu di republik ini.
Dengan demikian, partisipasi politik masyarakat dalam mewujudkan pileg maupun
pilpres yang sukses tanpa ada konflik dan aib politik mesti dimaksimalkan dalam
rangka mengamankan ritual demokrasi itu.
Dalam
peran serta dan partisipasi masyarakat sipil, ada yang disebut sebagai partisipasi
resmi seperti yang dijalankan oleh para penggiat kepemiluan yang punya
legalitas-formal sebagai pengawal yang bermitra dengan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Selain itu, ada pula yang namanya partisipasi
tidak resmi, namun mereka terlibat dalam isu-isu publik dan diskursus politik
kewargaan. Hal ini misalnya bisa kita lihat pada fenomena dan kiprah organisasi
dan komunitas yang melek politik, gemar mengikuti percakapan tentang
kebangsaan.
Hanya
saja partisipan informal atau tidak resmi tidak terdaftar di KPU. Akan tetapi,
mereka terjun dalam kancah kepemiluan sebagai pemantau independen, bahkan
kritis. Dalam mengawasi agenda pemilu, kelompok tipe ini lazimnya concern dalam
mengawal jalannya pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilu presiden. Bila
ada kecurangan, maka mereka melapor dan mengadvokasi. Artinya, keberadaan
mereka tida bisa diabaikan, mesti diberdayakan dalam kerangka kemitraan
strategis.
Partisipasi
tidak resmi misalnya dijewantahkan melalui kekuatan opini tulisan di media
massa, pernyataan sikap yang disiarkan lewat pers, melaporkan penyimpangan atau
pelanggaran dalam perhelatan elektoral, penyampaian kritik dan gugatan, saran
dan usulan, kepada KPU maupun BAWASLU. Mereka-mereka itulah yang menjadi sukma
terdalam dan roh kekuatan sipil.
Di
konteks kekinian, pemilu 2019 tetap memerlukan kehadiran segenap komponen masyarakat
sipil untuk mengawasi pileg sekaligus pilpres sebagai wahana penjaringan
pemimpin-pemimpin politik baik di level lokal maupun nasional. Pesta demokrasi
2019 harus diaktualisasikan dengan penuh kehangatan, bukan nyinyir-nyinyiran.
Disinilah relevansi perlunya keaktifan secara tulus para aktivis masyarakat
sipil guna mengutamakan narasi politik yang mencerahkan, bukan yang berbau hoax
dan bernuansa provokatif.
Kalau
penyelenggara pemilu selaku representasi negara, beserta kehadiran masyarakat
sipil bersinergi secara konstruktif, maka kualitas demokrasi akan lebih segar.
Kalau penyelenggaranya harus fair dan menjamin semua kontestan politik sesuai prosedur
yang berlaku, dengan pelayanan yang bermartabat, maka masyarakat sipil terus
mengawalnya sehingga keseimbangan terus terjadi.
Peran-peran
dan kerja-kerja politik partisipatoris, senantiasa berbanding lurus dengan
substansialisasi demokrasi. Buahnya adalah kesejahteraan warga, pelibatan kaum
marginal, dan terbukanya akses secara terbuka dan inklusif bagi semua warga
negara tanpa kecuali. Karena itu, masyarakat sipil seyogyanya melakukan
sosialisasi, pencegahan dari potensi penyimpangan, termasuk pelaporan kala ada
yang bermain skandal di ruang gelap.
Harapannya
adalah masyarakat kian aktif dalam proses demokrasi dan kepemiluan. Tolak ukur
kesuksesan partisipasi masyarakat sipil dalam pemilu tidak hanya sekedar dilihat
dari deretan angka statistik pemilih yang hadir di penusukan gambar di ruang
tertutup. Akan tetapi, mesti dilihat pula dari kesadaran transformatif dalam penyelenggaraan
pemilu dari hulu sampai hilir. Jadi ada parameter kualitatif, sekaligus
kuantitatif. Dengan cara itulah, pemilu akan berkualitas. Kekuatan masyarakat
sipil adalah kunci. Salam demokrasi.
Oleh:
Dadang Nurjaman
Tulisan Ini pernah dimuat di Koran Harian Pasundan Ekspres.