Rabu, 10 Juni 2020

Saat ini kita sedang memasuki tahun politik. Suksesi kepemimpinan nasional maupun lokal digelar melalui mekanisme politik lewat pemilu. Berharap pemilu yang demokratis adalah harapan kolektif semua elemen bangsa. Sehingga kelak lahir pemimpin politik yang menjadi cahaya bagi rakyatnya.
Agar pemilu tidak sekadar ajang ritual musiman, berbiaya tinggi, maka proyeksi Pemilu yang aman, damai, dan demokratis, perlu menjadi atensi bersama semua pihak. Karena itu, peran pemerintah perlu dioptimalkan. Lebih daripada itu, keterlibatan masyarakat sipil (civil society) dalam mengawal Pemilu juga tak bisa diabaikan.
Lalu apa peran masyarakat sipil?
Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa civil society adalah “rumah” persemaian demokrasi. Jadi demokrasi tidak hanya tercermin dalam pemilu yang bebas dan demokratis, tetapi juga diperlukan persemaian dalam “rumah”, yaitu civil society (Masyarakat sipil). Karena itulah, masyarakat sipil sebagai mitra negara dalam proses transformasi politik hendaknya menekan tombol akar rumput agar mereka berpartisipasi dalam roda pembangunan dan konsolidasi demokrasi.
Ada banyak hal bisa dilakukan oleh elemen masyarakat sipil. Kategorisasi masyarakat sipil tercermin dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Ormas, asosiasi profesi, komunitas budayawan, forum keagamaan, jaringan buruh, dan sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut bergerak atas acuan prinsipil, kehendak dan cita serta tujuan bersamaKeberadaan masyarakat sipil seperti itu akan menjadi jembatan antara negara dengan masyarakat. Sehingga negara tidak terlampau hegemonic, begitu pun masyarakat tidak kelewat liar. Semuanya bergulat dengan simfoni yang indah.
Dalam konteks pesta demokrasi, masyarakat Indonesia di berbagai wilayah baru saja melewati hajatan pilkada serentak. Secara umum, penyelenggaraan pilkada serentak berjalan aman, kendati ada riak-riak kecil, namun tidak sampai merongrong sel-sel tubuh bangsa. Saat ini, konser demokrasi berpindah ke pemilihan wakil-wakil rakyat hingga pemilihan orang nomor satu di republik ini. Dengan demikian, partisipasi politik masyarakat dalam mewujudkan pileg maupun pilpres yang sukses tanpa ada konflik dan aib politik mesti dimaksimalkan dalam rangka mengamankan ritual demokrasi itu.
Dalam peran serta dan partisipasi masyarakat sipil, ada yang disebut sebagai partisipasi resmi seperti yang dijalankan oleh para penggiat kepemiluan yang punya legalitas-formal sebagai pengawal yang bermitra dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Selain itu, ada pula yang namanya partisipasi tidak resmi, namun mereka terlibat dalam isu-isu publik dan diskursus politik kewargaan. Hal ini misalnya bisa kita lihat pada fenomena dan kiprah organisasi dan komunitas yang melek politik, gemar mengikuti percakapan tentang kebangsaan.
Hanya saja partisipan informal atau tidak resmi tidak terdaftar di KPU. Akan tetapi, mereka terjun dalam kancah kepemiluan sebagai pemantau independen, bahkan kritis. Dalam mengawasi agenda pemilu, kelompok tipe ini lazimnya concern dalam mengawal jalannya pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilu presiden. Bila ada kecurangan, maka mereka melapor dan mengadvokasi. Artinya, keberadaan mereka tida bisa diabaikan, mesti diberdayakan dalam kerangka kemitraan strategis.
Partisipasi tidak resmi misalnya dijewantahkan melalui kekuatan opini tulisan di media massa, pernyataan sikap yang disiarkan lewat pers, melaporkan penyimpangan atau pelanggaran dalam perhelatan elektoral, penyampaian kritik dan gugatan, saran dan usulan, kepada KPU maupun BAWASLU. Mereka-mereka itulah yang menjadi sukma terdalam dan roh kekuatan sipil.
Di konteks kekinian, pemilu 2019 tetap memerlukan kehadiran segenap komponen masyarakat sipil untuk mengawasi pileg sekaligus pilpres sebagai wahana penjaringan pemimpin-pemimpin politik baik di level lokal maupun nasional. Pesta demokrasi 2019 harus diaktualisasikan dengan penuh kehangatan, bukan nyinyir-nyinyiran. Disinilah relevansi perlunya keaktifan secara tulus para aktivis masyarakat sipil guna mengutamakan narasi politik yang mencerahkan, bukan yang berbau hoax dan bernuansa provokatif.
Kalau penyelenggara pemilu selaku representasi negara, beserta kehadiran masyarakat sipil bersinergi secara konstruktif, maka kualitas demokrasi akan lebih segar. Kalau penyelenggaranya harus fair dan menjamin semua kontestan politik sesuai prosedur yang berlaku, dengan pelayanan yang bermartabat, maka masyarakat sipil terus mengawalnya sehingga keseimbangan terus terjadi.
Peran-peran dan kerja-kerja politik partisipatoris, senantiasa berbanding lurus dengan substansialisasi demokrasi. Buahnya adalah kesejahteraan warga, pelibatan kaum marginal, dan terbukanya akses secara terbuka dan inklusif bagi semua warga negara tanpa kecuali. Karena itu, masyarakat sipil seyogyanya melakukan sosialisasi, pencegahan dari potensi penyimpangan, termasuk pelaporan kala ada yang bermain skandal di ruang gelap.

Harapannya adalah masyarakat kian aktif dalam proses demokrasi dan kepemiluan. Tolak ukur kesuksesan partisipasi masyarakat sipil dalam pemilu tidak hanya sekedar dilihat dari deretan angka statistik pemilih yang hadir di penusukan gambar di ruang tertutup. Akan tetapi, mesti dilihat pula dari kesadaran transformatif dalam penyelenggaraan pemilu dari hulu sampai hilir. Jadi ada parameter kualitatif, sekaligus kuantitatif. Dengan cara itulah, pemilu akan berkualitas. Kekuatan masyarakat sipil adalah kunci. Salam demokrasi.

Oleh: Dadang Nurjaman

Tulisan Ini pernah dimuat di Koran Harian Pasundan Ekspres.

Kamis, 23 Oktober 2014


Joko Widodo dan Jusuf Kalla akhirnya dilantik sebagai Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019, pelantikan berlangsung khidmat di gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Senin, 20 Oktober 2014.
foto dari : http://arisheruutomo.com
Diluar gedung pelantikan, tepatnya di bundaran HI sampai Monumen Nasional (monas) ribuan masyarakat tengah menanti Presidennya yang akan diarak menggunakan kereta kecana dari Bundaran HI sampai istana untuk pisah sambut dengan presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Di Monas, artis-artis terkenal dan masyarakat berbaur dalam menyambut presiden baru dengan nama syukuran rakyat yang digagas oleh Abdi Negara yang tak lain adalah gitaris band slank dan para artis lainnya.

Selain menyajikan hiburan, di tempat yang sama juga disediakan makanan gratis seperti siomay, baso dan lain-lain. Menurut informasi jumlahnya makanan gratis tersebut bisa untuk orang sebanyak 76.000 lebih.

Keluar dari hingar bingar pelantikan dan syukuran rakyat, elit-elit politik menanti-nanti siapa saja yang akan menjadi pembantu (menteri) Presiden dalam lima tahun mendatang.

Sebelumnya Jokowi maupun Jusuf Kalla mengatakan akan mengumumkan calon menterinya setelah pelantikan atau sehari setelah pentikan. Namun, hal itu tidak terjadi dengan alasan presiden meminta pandangan dari Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Ini merupakan langkah visioner dan merupakan kebaruan yang dibangun oleh Jokowi untuk menentukan menterinya, dia memang selalu mengatakan menterinya harus bersih alias memiliki rekam jejak yang baik dan tidak pernah berurusan dengan KPK.

Dengan begitu dia akan memiliki kabinet yang bersih dari korupsi meskipunsebenarnya tidak menjamin bahwa orang yang belum berhubungan dengan KPK akan selamanya bersih. Tapi kita harus berfikir baik akan hal itu.

Sebagai masyarakat, baik yang mendukung maupun tidak mendukung waktu pilpres kemarin tentu sangat berharap agar menteri yang ambil bisa sejalan dengan visi dan misi Jokowi dan JK, yang mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bangsa.

Cepat atau lambat nama-nama menteri akan diumumkan oleh Presiden, tentu saja akan ada pro dan kontra yang berkembang nantinya. Namun, adanya pro dan kontra merupakan hal yang wajar dalam negara demokratis, tinggal  presiden beserta kabinetnya harus bekerja nyata untuk rakyat.

Sekarang harapan masyarakat begitu besar terhadap Jokowi dan JK, sekali saja membuat kebijakan yang tidak pro rakyat, maka harapan yang sekarang ada dalam diri setiap rakyat Indonesia akan runtuh dan akan balik mencaci.

Saya atasnama warga negara yang hidup diantara 250 juta rakyat Indonesia lainnya menggantungkan harapan yang besar pada Bapak Joko Widodo sebagai Presiden dan Bapak Jusuf Kalla sebagai wakil Presiden serta mentari-mentarinya untuk membawa perahu besar bernama Indonesia ini pada sebuah tempat yang bernama kesejahteraan.


Selasa, 14 Oktober 2014

SBY

Karikatur (by google.com)
Pada tanggal 20 Oktober 2014 terjadi pergantian Presiden Republik Indonesia, dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)yang sudah menjabat sepuluh tahun menyandang Presiden akan melimpahkan jabatannya ke Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemenang pemilu di bulan Juli 2014 Kemarin.

Saya sebagai warga merasa serba salah, apakah saya harus senang atau harus sedih dengan pergantian Presiden ini, karena senang dan sedih ini bila dimaknai lebih mendalam pasti akan berarti baik dan buruk.

Saya senang karena Indonesia akan mempunyai Presiden baru yang mengklaim dirinya dan relawannya sebagai presiden yang lahir dari rakyat dan akan bekerja untuk rakyat, yang sebenarnya sama saja dengan yang dikatakan SBY waktu kampanye presiden di pemilu sebelumnya.

Sedih karena akan ada banyak kenangan bersama dengan SBY (meskipun tidak pernah tinggal bareng), dimana banyak orang yang pernah menghujat, memaki, menyalahkan dan menjadikan dia sebagai orang  yang selalu disalahkan dalam hal apapun.

Bahkan ada salah seorang comic (baca-komedian stand up comedy) bilang, mungkin kita tidak akan kehilangan joke-joke tentang Presiden.

Saya melihat SBY ini adalah orang yang pintar dalam hal apapun, berpidato dia jago, berbusana dia selalu gagah, dan dia jago juga bikin masyarakat sabar. Ingat kan waktu Indonesia sama Malaysia bersitegang, dan SBY waktu itu mengadakan konfrensi Pers di Markas TNI, ada pengamat bilang SBY serius mau marah bahkan bisa jadi perang, tapi ternyata dia berhasil membuat masyarakat menjadi tenang.

Bagi yang sering mendengar pidato atau konfrensi persnya mungkin sudah tidak asing dengan kata “saya kecewa, saya prihatin, dan saya mengerti”. Kata-kata itu seperti tak tergantikan dan bahkan banyak pengamat politik, psikologi dan komunikasi bilang kalau pidato-pidatonya itu hanyalah curahatan hati (curhat) yang tidak wajar dilakukan seorang Presiden ke masyarakat.

Presiden adalah pemimpin bangsa dan negara yang tentu menjadi wajah masyarakatnya dari mulai yang paling miskin sampai kaya, dari anak-anak samai orang tua. Dan untuk menilai  SBY sebagi seorang pemimpin atau bapak bagi masyarakatnya, tentu kita harus bertanya pada diri kita sejauhmana kita sudah menjadi pemimpin bagi diri sendiri.

Namun, apabila dia sangat tidak sempurna bahkan banyak sekali kesalahannya, mungkin kita harus meminjam kata yang selalu SBY katakan, “Kita Prihatin, Kita Kecewa dan Kita Mengerti SBY”.

Terima Kasih SBY sudah bersama kami selama sepuluh tahun ini, mudah-mudahan pengabdianmu, pengorbananmu, kesabaranmu dibalas oleh Allah SWT.



Rabu, 08 Oktober 2014

Saya adalah seorang mantan wartawan di harian Radar Karawang grup Jawa Pos diwilayah Purwakarta, Subang dan Karawang atau yang biasa di singkat dengan Purwasuka. Waktu itu saya ditempatkan di kabupaten Subang bersama senior saya mang Eko.
 
Menjadi seorang wartawan tidaklah mudah, selain gajinya kecil, jam kerja pun tidak jelas bahkan bisa di bilang kerja 24 jam full gak setengah-setengah. Saya dan mang Eko kebagian dua halaman Subang Raya. 

Dalam bekerja wartawan dituntut untuk mengungkap fakta yang terjadi dilapangan, tidak boleh mengarang. Pada awalnya saya menulis berita yang ringan seperti seremonial seperti acara Bupati, acara Dinas Pemerintah dan Partai.  

Saya sebenarnya dikategorikan wartawan umum, yaitu wartawan yang harus serba bisa meliput semua berita, baik kriminal, ekonomi, politik, pemerintahan dan lain-lain. 

Senang dengan semua aktifitas yang dijalankan sewaktu menjadi wartawan, meskipun rasa cape tidak bisa disembunyikan, namun dilakukan dengan semangat. Sedihnya kalau ingat kuliah, dimana waktu itu saya juga lagi kuliah semester tiga di Fakultas Komunikasi Universitas Subang. Jadi jarang ke kampus karena seringnya di lapangan cari berita.

Ketika menjalani sebagai seorang wartawan, ada hal yang membuat saya malu mengakui saya seorang wartawan yaitu karena image wartawan di masyarakat suka dipandang negatif karena banyak wartawan yang kerjanya bukan mencari berita tapi malah menjadi pemalak ke desa-desa.

Miris memang, kita yang bekerja dibawah tuntutan setiap hari harus ada berita, di satu sisi ada sebagain orang yang mengaku wartawan dengan santainya meminta jatah proyek dan memalak masyakat demi kepentingan pribadi.

Awalnya saya jadi malu mengakui saya wartawan, kalau liputan ke desa saya lebih suka ngaku sebagai reporter, padahal sama saja sih, tapi mereka lebih nyaman wawancaranya bila mengaku reporter dari pada mengaku wartawan. Hehehe.

Ada banyak istilah untuk wartawan-wartawan pemalak ini diantaranya, wartawan amplop, wartawan bodrex, wartawan tanpa surat kabar (WTS), wartawan bodong, wartawan gadungan dan banyak lagi. 

Wartawan-wartawan tersebut tidak mencari berita mereka hanya mencari uang untuk kepentingan pribadi, biasanya kalau ada acara dinas atau bupati mereka kumpul terus membuat absen yang hadir dan setelahnya di kasihkan terus cair deh uangnya. 

Dan untuk wartawan harian, pasti absennya dicatat diurutan pertama, tidak tahu ditumbalkan atau apa, tapi memang jitu mereka berhasil mendapatkan jatah dari itu. Dan kami yang ditugaskan mencari berita hanya bisa senyum-senyum saja, meskipun sedih melihatnya.

Suatu waktu saya bangun pagi dan duduk manis sambil minum kopi di agen koran yang menjual koran saya, saya mau tahu siapa saja yang suka membeli koran tempat saya kerja ini. Dan ternyata yang membelinya itu wartawan-wartawan tidak jelas itu.

Jadi modusnya itu, mereka beli koran tiga dan diberikan ke narsumber yang ada di koran dengan berharap koran itu dieli dengan harga yang tinggi. Dalam hati dongkol juga, saya yang setengah mati mencari dan menulis berita, melah dimanfaatkan orang lain untuk memeras.

Bagaimana tidak rusak nama wartawan kalau masih banyak orang yang mengatasnamakan wartawan dengan tujuan memperkaya diri sendiri dan anehnya bukannya malu, sekarang ini semakin bangga dan semakin menjadi-jadi.

Ayo kawan sadarlah, masih banyak pekerjaan yang lebih mulia dari pada menjadi pemalak yang bisanya mencari kesalahan dan meminta jatah dari proyek-proyek pemerintah.

Ada yang mengatakan, dimana proyek pemerintah akan berjalan dengan baik apabila uang pengamanan wartawan gadungan dan preman saja sampai harus disiapkan 20% dari total anggaran.

Bagi kawan yang merasa tersinggung, maaf ya…

Selasa, 07 Oktober 2014


“Bagai jamur yang tumbuh dimusim hujan” itu peribahasa yang menggambarkan tentang media sosial belakangan ini. Teknologi yang semakin canggih membuat orang tidak melulu harus berada di depan computer untuk melakukan interaksi di dunia maya melainkan cukup di Handphone sudah bisa terhubung dengan internet.



Penggunanya pun beragam mulai dari anak remaja sampai orang tua, laki-laki maupun perempuan. Dari pengangguran, karyawan, pengusaha sampai pejabat menggunakan media sosial ini.

Bagi kalangan remaja, media sosial dijadikan alat mencari teman, reuinian dengan teman lama jauh, dan tidak sedikit yang dijadikan sebagai alat untuk mencurahkan hati. Untuk pengusaha tentu saja, media sosial bisa dijadikan alat promosi yang bisa dibilang paling efektif.

Namun bagi pejabat, media sosial dijadikan sebagai alat blusukan untuk menjaring aspirasi dari masyarakat untuk kemudian ditindaklanjuti sebagai programnya dan dari beberapa pejabat sudah melakukan itu salah satunya Walikota Bandung Ridwan Kamil melalui akun twitternya.

Hanya saja, masih banyak juga pejabat yang belum melek media sosial. Padahal dijaman yang serba canggih seperti sekarang ini, kalau kita semakin menjauh dari teknologi maka kita akan semakin ketinggaln informasi. Apalagi pejabat, kalau ketinggalan informasi tentang daerah yang dipimpinya, maka pejabat tersebut bisa kita bilang kuper. 

Banyak alasan kenapa orang atau pejabat tidak mau masuk ke media sosia, pertama, pejabat tersebut sudah tua dan gagap teknologi (gaptek), sehingga yang dia bisa hanya telpon dan sms saja. Kedua, pejabat tersebut tidak mau menerima kritik, karena kita seperti kita ketahui bersama, bahwa dunia maya ini seperti dunia bebas yang kalau mengkritik bisa sampai detail dari A-Z nya.


Nah bagi para pejabat yang belum punya akun Facebook, twitter atau Website pribadi mungkin harus banyak belajar lagi teknologi, karena mau tidak mau peran media sosial membuat hubungan anda (pejabat) dan masyarakat menjadi lebih dekat dan aspirasi bisa langsung ditanggapi.

Tidak perlu takut dikritik karena setiap manusia harus dikritik dan kritik adalah bukti cinta masyarakat pada pemimpinnya. 



Kata Bob Sadino,
Orang “goblok” berbisnis tidak berfikir urutan, sedang orang pintar berfikir urut.

Orang pintar tidak mudah percaya dengan orang lain, jadi semuanya mau dikerjain sendiri, seolah tak ada yang dapat menggantikan dirinya.

Nah, kalau orang “goblok” dia akan mencari orang pintar dan harus lebih pintar darinya, untuk menjalankan usahanya.

Kalau orang “goblok” tak pandai menghitung, makanya lebih cepat mulai usaha. Kalau orang pinter mengnghitungnya ‘jlimet’, jadi nggak mulai-mulai usahanya.

Orang pintar ketemu gagal, cenderung mencari kambing hitam untuk menutupi kekurangannya. Lain hal dengan orang ‘goblok’, jika ketemu gagal, dia nggak merasa kalau dia gagal, karena dia merasa sedang belajar.

“Bisnis itu hanya modal dengkul, bahkan jika anda tidak punya dengkul, pinjam dengkul orang lain.Jika ingin bahagia (sukses) jangan jadi karyawan..“

Mulai dari sekarang jadilah orang ‘goblok’, karena orang ‘goblok’ tidak mudah cemen.

Bergerak sesuai nalar dan bersahabat dengan KEGAGALAN = SUKSES

Begitulah Kata Bob Sadino.

Minggu, 05 Januari 2014

Indonesia mungkin menjadi satu dari banyak negara yang paling disibukan dengan pemillihan dari pemilihan RT, RW, Kepala Desa, Bupati dan wakil Bupati, Gubernur dan wakil Gubernur, Presiden dan wakil Presiden serta Pemilihan Wakil rakyat dengan nama pemilihan Legislatif dari mulai DRP RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.
Seperti dikutip dari wikipedia.org, Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Imbas dari semua itu, dari tahun ke tahun negara tidak pernah berhenti mengurus masalah-masalah politik, mulai dari kerusuhan pembakaran gedung KPUD, kerusuhan antar pendukung calon dan kasus suap menyuap dari calon yang mengadukan kekalahannya ke Mahkamah Konstitusi.
Selain menyisakan masalah-masalah sosial, ini juga berdampak pada anggaran yang tidak sedikit dikeluarkan negara, seperti yang dikutip inilah.com dimana Pilbup Subang pada tahun 2013 yang lalu menggangarkan anggaran sebesar Rp 35 Miliar.
Itu di pemilihan Bupati, sedangkan untuk pemilihan gubernur dan pemilihan Presiden serta pemilihan DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi dan DPR RI bisa dibayangkan berapa anggaran yang dihabiskan hanya untuk memilih satu atau dua orang saja yang sudah banyak contoh dari anggaran yang dikeluarkan untukpemilihan hanya memunculkan orang-orang yang pada akhirnya harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara.
Dari banyaknya hal yang negatif dari pemilihan langsung ini memang tidak sedikit juga hal positif yang ditimbulkan. Contohnya, menjadi keuntungan bagi para pengusaha atribut kampanye yang maraup keuntungan dari pesta demokrasi, banyaknya pekerjaan dadakan bagi kelompok intelektual yang menjadi konsultan politik bagi para calon.
Berangkat dari semua itu, semoga masyarakat tidak bosan mengikuti pesta demokrasi yang tidak sedikit menghasilkan perampok berdasi dengan memakan hak nya masyarakat yang membiayai pemilihan mereka.
Semoga saja, masyarakat juga semakin pintar dalam memilih apalagi masyarakat Indonesia akan menghadapi dua pesta demokrasi yang sangat penting yakni memilih DPR RI, DPRD Provinsi, DRPD Kabupaten dan DPD pada tanggal 9 April 2014, dan setelah itu masih di tahun 2014 kita akan memilih Presiden dan wakil Presiden.
Semoga kita bisa memilih wakil-wakil yang bisa membawa negara ini menjadi negara yang makmur dan sejahtera dan memilih presiden dan wakil presiden yang bukan saja pandai besolek dan curhat melainkan presiden pemberani, tegas dan tentunya berjiwa sosial tinggi demi terwujudnya negara yang aman, tentram, sejahtera dan adil bagi masyarakat Indonesia.

Refensi
wikipedia.org
inilah.com
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!