Rabu, 10 Juni 2020

Saat ini kita sedang memasuki tahun politik. Suksesi kepemimpinan nasional maupun lokal digelar melalui mekanisme politik lewat pemilu. Berharap pemilu yang demokratis adalah harapan kolektif semua elemen bangsa. Sehingga kelak lahir pemimpin politik yang menjadi cahaya bagi rakyatnya.
Agar pemilu tidak sekadar ajang ritual musiman, berbiaya tinggi, maka proyeksi Pemilu yang aman, damai, dan demokratis, perlu menjadi atensi bersama semua pihak. Karena itu, peran pemerintah perlu dioptimalkan. Lebih daripada itu, keterlibatan masyarakat sipil (civil society) dalam mengawal Pemilu juga tak bisa diabaikan.
Lalu apa peran masyarakat sipil?
Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa civil society adalah “rumah” persemaian demokrasi. Jadi demokrasi tidak hanya tercermin dalam pemilu yang bebas dan demokratis, tetapi juga diperlukan persemaian dalam “rumah”, yaitu civil society (Masyarakat sipil). Karena itulah, masyarakat sipil sebagai mitra negara dalam proses transformasi politik hendaknya menekan tombol akar rumput agar mereka berpartisipasi dalam roda pembangunan dan konsolidasi demokrasi.
Ada banyak hal bisa dilakukan oleh elemen masyarakat sipil. Kategorisasi masyarakat sipil tercermin dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Ormas, asosiasi profesi, komunitas budayawan, forum keagamaan, jaringan buruh, dan sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut bergerak atas acuan prinsipil, kehendak dan cita serta tujuan bersamaKeberadaan masyarakat sipil seperti itu akan menjadi jembatan antara negara dengan masyarakat. Sehingga negara tidak terlampau hegemonic, begitu pun masyarakat tidak kelewat liar. Semuanya bergulat dengan simfoni yang indah.
Dalam konteks pesta demokrasi, masyarakat Indonesia di berbagai wilayah baru saja melewati hajatan pilkada serentak. Secara umum, penyelenggaraan pilkada serentak berjalan aman, kendati ada riak-riak kecil, namun tidak sampai merongrong sel-sel tubuh bangsa. Saat ini, konser demokrasi berpindah ke pemilihan wakil-wakil rakyat hingga pemilihan orang nomor satu di republik ini. Dengan demikian, partisipasi politik masyarakat dalam mewujudkan pileg maupun pilpres yang sukses tanpa ada konflik dan aib politik mesti dimaksimalkan dalam rangka mengamankan ritual demokrasi itu.
Dalam peran serta dan partisipasi masyarakat sipil, ada yang disebut sebagai partisipasi resmi seperti yang dijalankan oleh para penggiat kepemiluan yang punya legalitas-formal sebagai pengawal yang bermitra dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Selain itu, ada pula yang namanya partisipasi tidak resmi, namun mereka terlibat dalam isu-isu publik dan diskursus politik kewargaan. Hal ini misalnya bisa kita lihat pada fenomena dan kiprah organisasi dan komunitas yang melek politik, gemar mengikuti percakapan tentang kebangsaan.
Hanya saja partisipan informal atau tidak resmi tidak terdaftar di KPU. Akan tetapi, mereka terjun dalam kancah kepemiluan sebagai pemantau independen, bahkan kritis. Dalam mengawasi agenda pemilu, kelompok tipe ini lazimnya concern dalam mengawal jalannya pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilu presiden. Bila ada kecurangan, maka mereka melapor dan mengadvokasi. Artinya, keberadaan mereka tida bisa diabaikan, mesti diberdayakan dalam kerangka kemitraan strategis.
Partisipasi tidak resmi misalnya dijewantahkan melalui kekuatan opini tulisan di media massa, pernyataan sikap yang disiarkan lewat pers, melaporkan penyimpangan atau pelanggaran dalam perhelatan elektoral, penyampaian kritik dan gugatan, saran dan usulan, kepada KPU maupun BAWASLU. Mereka-mereka itulah yang menjadi sukma terdalam dan roh kekuatan sipil.
Di konteks kekinian, pemilu 2019 tetap memerlukan kehadiran segenap komponen masyarakat sipil untuk mengawasi pileg sekaligus pilpres sebagai wahana penjaringan pemimpin-pemimpin politik baik di level lokal maupun nasional. Pesta demokrasi 2019 harus diaktualisasikan dengan penuh kehangatan, bukan nyinyir-nyinyiran. Disinilah relevansi perlunya keaktifan secara tulus para aktivis masyarakat sipil guna mengutamakan narasi politik yang mencerahkan, bukan yang berbau hoax dan bernuansa provokatif.
Kalau penyelenggara pemilu selaku representasi negara, beserta kehadiran masyarakat sipil bersinergi secara konstruktif, maka kualitas demokrasi akan lebih segar. Kalau penyelenggaranya harus fair dan menjamin semua kontestan politik sesuai prosedur yang berlaku, dengan pelayanan yang bermartabat, maka masyarakat sipil terus mengawalnya sehingga keseimbangan terus terjadi.
Peran-peran dan kerja-kerja politik partisipatoris, senantiasa berbanding lurus dengan substansialisasi demokrasi. Buahnya adalah kesejahteraan warga, pelibatan kaum marginal, dan terbukanya akses secara terbuka dan inklusif bagi semua warga negara tanpa kecuali. Karena itu, masyarakat sipil seyogyanya melakukan sosialisasi, pencegahan dari potensi penyimpangan, termasuk pelaporan kala ada yang bermain skandal di ruang gelap.

Harapannya adalah masyarakat kian aktif dalam proses demokrasi dan kepemiluan. Tolak ukur kesuksesan partisipasi masyarakat sipil dalam pemilu tidak hanya sekedar dilihat dari deretan angka statistik pemilih yang hadir di penusukan gambar di ruang tertutup. Akan tetapi, mesti dilihat pula dari kesadaran transformatif dalam penyelenggaraan pemilu dari hulu sampai hilir. Jadi ada parameter kualitatif, sekaligus kuantitatif. Dengan cara itulah, pemilu akan berkualitas. Kekuatan masyarakat sipil adalah kunci. Salam demokrasi.

Oleh: Dadang Nurjaman

Tulisan Ini pernah dimuat di Koran Harian Pasundan Ekspres.

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!