Minggu, 31 Oktober 2010

Tiga setengah abad rupanya bukan waktu yang singkat untuk bangsa ini di jajah oleh bangsa asing. Ribuan bahkan jutaan jiwa harus melayang karena kejamnya kehidupan pada jaman itu, genangan darah dan air mata seolah masih terasa di negeri ini. 

Kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta, pada saat itu kabar yang sangat membahagiakan, karena merasa terbebas dari penjajah yang selain memeras kekayaan alam penjajah juga memperbudak masyarakat Indonesia untuk jadi pembantu di mereka. Waktu berlalu sedikit kemajuan pun terjadi di negara ini yang mungkin kita sebut dengan saat-saat kemerdekaan, dimana masyarakatnya sudah tidak lagi mendengar letupan bom Molotov atau suara-suara senjata yang membisingkan dan menakutkan. 

Masyarakat sekarang sudah bekerja pada bidangnya masing-masing, ada petani, buruh pabrik, nelayan, kantoran dan yang lainnya, walaupun masih banyak yang menganggur. Anak-anak pun diberikan pendidikan yang layak dari mulai SD, SMP, SMA bahkan sudah banyak sekarang yang meneruskan ke jenjang perkuliahan. Hal ini cukup bertolak belakang dengan kondisi jaman dahulu yang anak-anak ini sangat dilarang untuk sekolah, karena yang boleh sekolah hanya orang-orang yang bekerja pada para penjajah atau bisa disebut anak “gedongan”. 

Sekarang, kita berada di era reformasi setelah sebelumnya negara ini berada di era orde lama, dimana Bung Karno saat itu yang menjadi pemimpin sejak proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1966, karena berbagai permasalahannya, Soekarno pun lengser beserta orde lamanya yang digantikan dengan orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Kepemimpinan Soeharto cukup lama, sekitar 32 tahun menjadi presiden. 

Kalau melihat baik atau buruknya selama menjabat, soeharto pernah diberikan gelar bapak pembangunan di negara ini, bahkan bangsa ini juga menjadi macannya Asia yang lumayan ditakuti di Asia. Hanya, prestasinya tidak sebanding dengan kerasnya gaya kepemimpinannya yang otoriter, dimana setiap ada yang mengkritik kebijakannya, maka kalaupun tidak hilang maka meninggal. 

Media saat itupun seperti dikerangkeng, mahasiswa ditutup mulutnya, ada yang bersuara maka sudah dipastikan hilang atau ditangkap dan dimasukan ke penjara. Kondisi politik juga sangat kaku dan sudah bisa diprediksi hasilnya, warna kuning pastilah menang. Suasana mulai memanas ketika pada tahun 1997 terjadi krisis multidimensi yang didalamnya krisis kepercayaan juga, isu reformasi juga digulirkan, banyak mahasiswa yang mulai berani turun ke jalan, penjarahan dimana-mana, keributan dimana, mulai dari isu agama, suku dan kebangsaan pun bermunculan. Ini juga yang membuat Soehato pada tanggal 21 September 1997 lengser dari jabatannya, dan dialihkan ke BJ Habibi yang saat itu menjabat sebagai wakil Presiden. Dan ketika itulah genderang reformasi dibuka, semua orang bebas bersuara mengkritik pemerintahan, mahasiswa kembali berdemo, media kembali mengkritik melalui tulisan-tulisannya. sampai sekarang proses reformasi ini masih berlangsung, namun, imbas dari reformasi pun dirasakan kurang berdampak baik pada masyarakat. 

Dimana masyarakat selalu menjadi objek untuk dijual baik dalam kebijakan pemerintah maupun pada saat pesta demokrasi. Banyak kebijakan yang disebt untuk rakyat, untuk mensejahterakan rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Namun, pada kenyataannya, kebijakan tersebut tidak pernah ada, masyarakat tetap saja susah untuk mencari makan, masyarakat masih saja yang kelaparan, masih banyak masyarakat yang hidupnya tidak layak, banyak masyarakat yang masih menganggur dan perlu diperhatikan. 

Kondisi seperti ini tidak ubahnya dengan kondisi jaman penjajah, masyarakat hanya menjadi pekerja di negaranya sendiri, dan yang menikmati hanya orang lain. Parahnya lagi, disaat kondisi yang seperti ini, masyarakat disuguhi dengan tontonan kekerasan di televisi, yang membuat mental bangsa ini menjadi ambruk. Musyawarah tidak lagi menjadi salah satu cara menyelesaikan masalah, namun dengan pertengkaran dan saling bunuh merupakan cara yang saat ini lagi ngetrend.  Perkembangan teknologi juga ternyata sangat berdampak kurang baik pada negara ini. Padahal teknologi bertujuan untuk mempermudah hidup baik itu berkomunikasi maupun untuk yang lainnya. 

Namun, setelah teknologi ini datang di Indonesia, semuanya jadi berbeda, yang tadinya teknologi ini mempermudah sekarang bisa dibuat untuk melakukan kejahatan, walaupun masih banyak juga teknologi yang digunakan sebagaimana mestinya. Seperti halnya televisi. Televisi berfungsi sebagai media hiburan, pendidikan, informasi, mediasi juga kontrol sosial. Namun sekarang, televisi malah menjadi media hiburan saja yang sangat sedikit pendidikannya. Sehingga masyarakat Indonesia ya bisa dikatakan mayoritas memiliki televisi selalu disuguhi film ataupun acara-acara yang sebenarnya sudah merusak mental masyarakat. dimana masyarakat selalu ingin hidup seperti orang yang ada di film, baik itu cara makan maupun cara berpakaian dan yang lebih parah lagi mereka bersikap pun sama seperti para aktor dan aktris yang memerankan film. Dari paparan diatas, sepertinya sudah pantas kalau kita sedikit menyimpulkan, kalau perubahan dalam bidang informasi dan teknologi belum siap untuk ditangkap masyarakat Indonesia secara merata. Sebab media informasi seperti televisi sekarang sudah menjadi “guru privat” dirumah-rumah, di sekolah ada guru, di rumah bukan lagi orang tua yang menjadi guru akan tetapi televisi atau internet yang menjadi guru hidup bagi mereka. Alhasil, dari kekurangan siapan tersebut masyarakt menangkapnya lain, justru apa yang dilihatnya menjadi sebuah pembelajaran baik yang positif maupun yang negative. 

Kecenderungan yang diikuti pun malah yang negative seperti seks bebas, kejahatan, pemukulan,  pamer tubuh dan lain-lainnya. Dari jaman ke jaman negara Indonesia terus mengalami berbagai cobaan berat, mulai penjajahan secara fisik oleh bangsa asing, penjajahan secara kebijakan oleh bangsa sendiri dan sekarang penjajahan secara pemikiran yang itu di lakukan oleh bangsa sendiri dan juga bangsa asing. 

Kita juga harus sadar bahwa bangsa asing lah yang menguasasi teknologi, sehingga mereka akan sangat leluasa melakukan penjajahan, jadi kenapa kita menyebut saat ini adalah penjajahan pola pikir, karena abad sekarang adalah abad yang merupakan perang budaya di dunia.  Siapa yang kuat dan menguasai teknologi maka dial ah yang akan menguasai dunia dengan terus memasarkan budayanya. Bangsa barat dengan teknologinya tengah melakukan kampanye besar-besaran dengan tujuan penyamaan budaya, dimana budaya yang dipasarkan ialah budaya “kebebasan” yang itu sudah masuk ke wilayah-wilayah kita. Sadar atau tidak sadar kita tengah berada dalam sebuah jaman dimana menuntut kita untuk berfikir bagaimana mengalahkan penjajah dengan cara pola pikir ini. Karena yang ada hari ini lagi-lagi baik disadari atau tidak disadari kita tengah terjajah oleh bangsa asing juga bangsa sendiri.  

Untuk itu kita yang masih merasa dirinya muda harus bias terus berproses untuk menimpa diri kita agar lebih mempunyai keahlian dalam segala hal terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai juga dengan tingkat spiritual yang kuat.  Dengan begitu bukan tidak mungkin, kita akan siap bersaing dan bias mengalahkan para penjajah dengan pola yang baru ini dan akhirnya kita pun bukan hanya sekedar berada di depan pintu gerbang kemerdekaan, akan tetapi juga masuk didalam kemerdekaan itu. Yakin Usaha Sampai.
Oleh: Dadang Nurjaman

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!