Minimnya bahan baku dan sedikitnya lahan pesawahan yang
bisa digarap untuk menanam bahan baku, membuat pengrajin tikar mendong yang
berada di Gunung Sari Desa Gembor Kecamatan Pagaden, semakin susah cari bahan
baku dan ini berakibat pada berkurangnya pengrajin tikar mendong di daerah
tersebut.
Di Gunung Sari, kerajinan tikar mendong ini sudah
berjalan sejak 1969, pada saat itu dikembangkan oleh Abah Karnam. Pada tahun
1978 usaha kerajinan mendong Gunung Sari bisa dikatakan berkembang, bahkan
tidak sedikit pemuda yang sempat dibawa ke Tasik untuk mengikuti pembinaan.
Bahkan, pada tahun 1983 sampai dengan 1987, usaha tikar
mendong Gunung Sari Gembor pernah mendapatkan pembinaan langsung dari Dikbud,
dan sampai dibuatkan kelompoknya yang pada saat itu berjumlah 40 orang. Selain
itu,peran Dikbud diharapkan bisa mengeluarkan barang yang sudah dibuat untuk
dijual.
“Pada saat itu kami masih banyak bahan baku akan tetapi
susah untuk menjual tikarnya,” Kata Waslim salah seorang mantan Bandar Tikar
Mendong Gunung Sari.
Waslim juga mengatakan, awalnya para pengrajin ataupun
yang memiliki lahan di sawah, lebih memilih untuk menanam mendong, bahkan diwilayah
Desa Gembor saja, terdapat 15 Hektare tanaman mendong.
“Kalau sekarang di Gunung Sari saja sudah tidak ada satu
petak pun tanaman mendong ini, karena para petani lebih memilih ke usaha ternak
ikan mas,”jelasnya.
Padahal, lanjut Waslim, saat itu, banyak pemuda di Gunung
Sari yang dipanggil ke Kabupaten Subang untuk diikutkan dalam
pelatihan-pelatihan. Meskipun di masalah harga saat itu masih minim, akan
tetapi masyarakat menikmati menjadi pengrajin.
“Meskipun harga satu meternya samak dihargai Rp 700,
namun ibu-ibu saat itu tidak ada yang ngumpul hanya untuk ngerumpi,tapi mereka
dari pagi sudah memulai meninun (membuat Tikar), sekarang kondisinya
terbalik,”ungkapnya.
Sementara itu menurut Enem salah satu pengrajin
tikar Mendong yang mulai menggeluti kerajinan tikar mendong sejak 1981 hingga
sekarang mengatakan, bahwa permasalahan yang dihadapi saat ini adalah kurangnya
permodalan dan bahan baku.
“Pasar tikar mendong di Subang masih cukup tinggi,
hanya saja kami pengrajin masih sulit mengembangkan usaha karena permodalan,
selain itu bahan baku juga menjadi masalah sebab, bukan saja di Subang, di
Tasik pun sama saat ini tengah kesulitan bahan baku,”jelasnya.
Enem menjelaskan, bahan baku yang ada saat ini itu
hanya cukup untuk beberapa orang saja, sementara yang membutuhkan bahan baku
ini bukan saja dari pengrajin ang ada di Gunung Sari melinkan di daerah
Rancabogo Pagaden, Salagedang dan beberapa daerah di Subang lainnya. “Dengan
bahan baku seadanya, kita mencoba mengoptimalkannya,”
Berbicara pendapatan, Pria yang sehari-harinya
membuat samak ini mengatakan, bahwa dalam satu bulan dirinya bisa mengumpulkan
uang sebanyak Rp 1.200.000, itu pun kalau tidak kerja malam. “Kalau dilanjutkan
sampai malam mungkin lebih,”ujarnya.
Enem berharap, agar pihak pemerintah mau
memperhatikan para pengrajin tikar mendong yang ada di Subang, sebab, hal ini
akan membantu masyarakat khususnya di Gunung Sari untuk kembali mengembangkan
usaha tikar mendong yang sudah berjalan sejak lama.
“Sekarang mulai berkurang, padahal mereka masih
ingin menjadi pengrajin, itu karena kurang modal, oleh sebab itu, kami memohon
kepada pemerintah agar bisa memberikan bantuan kepada kami para pengrajin tikar
mendong. Dengan begitu masyarakat tidak lagi menganggur,”harapnya.
#Bukan minta bantuan, tapi ini kondisi yang memprihatinkan bagi para pengrajin....