Kamis, 30 Desember 2010

Perjalanan tahun 2010 sudah kita lewati dengan segala permasalahn yang menumpuk di kabupaten Subang, bukan hanya masalah masyarakat kecil yang belum mampu bangkit, akan tetapi masalah para pemangku kebijakan pun ternyata masih banyak yang harus dibenahi.
Terutama peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Subang yang hingga akhir tahun ini belum menunjukan taringnya sebagai lembaga yang sejatinya menjadi pengawas dalam setiap program yang dijalankan oleh pemerintah kabupaten Subang.
Mengutip dari kata-kata seorang pakar politik Indonesia, Fadzurahman “Demokrasi tanpa oposisi sama saja dengan demokrasi kuburan”. Pernyataan ini sungguh jelas, terjadi di kabupaten Subang. Tidak adanya partai yang berani berbicara masalah kebijakan-kebijakan pemerintah daerah kabupaten Subang yang sudah banyak pihak menyatakan ketidakpuasannya.
Salah satu program yang dikatakan gagal adalah masalah pembangunan, hingga kini masih banyak jalan di daerah yang belum tersentuh oleh panasnya si hitam yang lekat (aspal). Padahal, bagusnya jalan adalah salah satu factor majunya perekonomian di daerah tersebut.
Selain jalan, masalah pembangunan pabrik juga menjadi permasalahan yang harusnya anggota dewan yang terhormat bias menilai layak atau tidaknya sebuah pabrik berdiri di lahan pertanian. Anehnya, anggota DPRD malah diam dan seolah membiarkan mengijinkan itu dilakukan. Padahal, sejatinya DPRD adalah yang membuat aturan, dimana lahan pertanian ini dilarang keras untuk dijadikan pabrik. Ironis memang, untuk tetap ada uang, aturan pun ditabrak.
Selain itu adalah masalah kepegawaian, setiap kali ada jaringan masuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) selalu banyak isu yang mengatakan ada unsur suap dalam tes CPNS tersebut. Tentunya ini memang bukan perkara mudah dalam pencarian faktanya, tetapi kalau saja DPRD-nya bias serius melihat permasalahan ini bukan tidak mungkin ini akan terungkap.
Namun, serius bagi DPRD mungkin sulit, karena selain susah membuka fakta, mungkin banyak diantaranya juga yang malah ikut menitipkan sanak saudaranya atau mungkin juga hanya sekedar menjadi “calo”. Ini sungguh ironis, Legislatif dan Eksekutif bagi-bagi kue.
Masalah selanjutnya adalah masalah kemiskinan, dengan anggaran daerah yang dimiliki pemerintah daerah kabupaten Subang, harusnya di maksimalkan untuk program-program pengembangan masyarakat kecil, bukan untuk urusan organisasi yang itu tidak ada hubungannya dengan pengentasan kemiskinan melainkan hanya menghambur-hamburkan angaran saja.
Faktor kemiskinan ini juga diakibatkan oleh banyaknya angka pengangguran di kabupaten Subang, padahal, jumlah pabrik yang ada di kabupaten Subang semakin meningkat. Seharusnya itu menjadi satu modal pemerintah untuk bisa memberdayakan pengengguran agar bisa bekerja. Tentunya ini menjadi “Pekerjaan Rumah” bagi pihak legislative sebagai pengawas pemerintahan. Harapan semua masyarakat kabupaten Subang sekarang bergantung pada 50 anggota dewan untuk bisa berbicara dan mengingatkan pihak eksekutif dalam melakukan program kerjanya.
Karena, bukan saja fungsi legislasi dan anggaran yang harus dikerjakan oleh DPRD akan tetapi fungsi pengawasan yang tepat juga diperlukan. Selama satu tahun ini, hanya fungsi anggaran yang dilakukan DPRD Subang, fungsi legislasi dan pengawasan seperti terlupakan.
Semoga saja, di Tahun Baru 2011 mendatang, DPRD sudah bisa lebih memahami akan fungsinya sebagai lembaga pengawas atau sebuah lembaga yang dipilih langsung oleh masyarakat untuk mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Apabila amanah ini tidak dijalankan melainkan selalu berjalan “mesra” dengan pihak eksekutif berarti apa yang dinamakan demokrasi kuburan dan bagi-bagi kue itu benar adanya di kabupaten Subang.
Oleh: Dadang Nurjaman
Mahasiswa Fikom Universitas Subang
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!